Pasalnya, semua itu hanyalah mitos. Malam lailatul qadar hinggap kepada setiap orang yang melakukan perang terhadap nafsu tirani di sepuluh hari pertama, sedih melihat penderitaan orang lain di sepuluh hari kedua, dan mencapai jiwa yang tenang di sepuluh hari terakhir.
Hal itu terungkap dalam perbincangan INILAH.COM, dengan Zainun Kamal, pengajar Ilmu Kalam (teologi Islam) dan Wiwi Siti Sajaroh, pengajar Akhlak-Tasawuf, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, di Jakarta, baru-baru ini.
Zainun Kamal mengatakan dari sisi bahasa, lailatul qadar berasal dari kata lailah yang berarti malam dan qadar yang berarti ukuran. Keduanya disimpulkan menjadi ketentuan.
Untuk itulah Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT yakni memberikan ketentuan tentang kebaikan dan keburukan sebagai pedoman dan petunjuk hidup. ”Karenanya, malam itu dimuliakan oleh Allah SWT,” katanya.
Orang yang mendapatkan kemulian pada malam kemuliaan adalah mereka yang melakukan tahapan ibadah secara sempurna selama bulan Ramadhan. Ulama-ulama, menurut Zainun membagi bulan Ramadhan sebagai berikut: sepuluh hari pertama, sepuluh hari kedua, dan sepuluh hari ketiga.
Sepuluh hari pertama dalam rangka melawan nafsu tiranni diri sendiri yang dikenal dengan sebutan nafsun amaratu bissu’i. Kalau manusia sudah dikuasai nafsu tirani ini, maka ia akan diperintah untuk melakukan kejahatan. Karena itu, manusia menjadi tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. ”Kadang-kadang korupsi juga dianggap baik,” katanya.
Sepuluh hari kedua, adalah perjuangan melawan nafsu lawwamah atau nafsu yang sudah tidak senang lagi melihat kejahatan dan dia sudah tenang melihat kebaikan. Pasalnya, manusia seringkali dihinggapi dengan perasaan senang melihat orang lain menderita. ”Kebahagian nafsullawwamah terletak pada kebahagiaan orang lain,” katanya.
Pada sepuluh hari ketiga, adalah nafsul muthma’innah. Jiwa yang tenang, tenteram dan damai. Ia mendapatkan semacam pencerahan pada sepuluh hari terakhir. ”Itu kan merupakan suatu proses bagaimana orang yang berpuasa mendapatkan kemuliaan lailatul qodar. Namun hal itu melekat (intrinsik) dalam jiwa manusia dan bukan suatu entitas di luar dirinya.”
Wiwi Siti Sajaroh yang dimintai komentar terpisah mengungkapkan hal senada. Menurutnya lailatul qodar merupakan malam yang mulia yang lebih baik dari pada seribu bulan. Wiwi melihatnya justru lailatul qodar itu adalah malam yang sangat rahasia. Artinya, tidak semua orang bisa meraih kemulian malam itu kecuali orang-orang tertentu.
Dalam ilmu tasawuf, lanjut Wiwi, untuk meraihnya itu ada beberapa proses tahapan untuk mencapai keinginan melihat dan menemukan malam rahasia itu. Wiwi menyebutkan proses spiritualitas yakni takhalli (bersih dari segala sifat yang tercela), dan tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat yang terpuji) dan tajalli (konsekuensi dari dua tahap sebelumnya, berupa tersingkapnya hijab yang menghalangi manusia dengan Tuhan).
”Puncaknya kita akan menemukan di malam lailatul qodar itu,” katanya. Tidak semua orang bisa melihat lailatul qodar secara kasat mata. Lailatul qodar mengejawantah di perasaan orang tertentu saja. ”Perasaan hati yang lega, hati yang terbuka dan semua itu tidak bisa dilihat secara kasat mata,” katanya.
Merasakan kehadirannya dan tidak menimbulkan rasa takabbur (sombong) tapi justru dengan kerendahan hatinya, lailatul qodar itu hadir dalam dirinya. ”Orang itu tidak mungkin membeberkan kepada orang lain bahwa ia merasakan lailatul qodar.
Kalau dia mengemukakan itu maka ia takabbur dan itu bukanlah lailatul qodar.” Wiwi menegaskan, dari sisi perilaku orang itu akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar